MAKALAH:Prinsip Pengembangan IPTEK dalam Perspektif Islam:

A. Pendahuluan             Perkembangan dunia modern berjalan begitu cepat, selaras dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ini ternyata melahirkan berbagai masalah yang lebih kompleks sesuai dengan beragamnya ilmu itu sendiri, terutama bagi umat yang gagap teknologi dan terbelakang dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, gagasan untuk melahirkan sebuah fungsi tafsir yang mampu menangkap isyarat ilmu yang berasal dari kitab suci adalah sebuah tuntutan zaman di era ilmu-ilmu modern. Manakala para ilmuwan dan intelektual barat telah menarik hubungan kitab suci dan teknologi,[1] dan mereka mulai tertarik tentang kemungkinan kontribusi kitab suci terhadap keberadaan sains juga teknologi, bahkan Albert Einstein ~sejak dulu mengingatkan~ dengan menyatakan: “Knowledge without Religion is Blind and Religion without Knowledge is Lame” maka itu adalah tantangan besar bagi para mufassir Alqur’an, misalnya untuk dapat memberikan ruang kepada para ilmuwan agar mereka diizinkan masuk ke dunia tafsir kitab suci. Terdapat lebih dari 750 ayat Alqur’an yang terkait dengan realitas alam semesta yang belum diteliti secara maksimal.B. Sistematika “metode tafsir ilmi”Makalah ini berusaha untuk merespon hal tersebut, ~walaupun sedikit~ dengan dibentuknya sistematika: “metode tafsir ilmi” (al-manhaj fî al-tafsîr al-`ilmî ). Ciri khas metode tafsir jenis ini adalah kolaborasi antara paradigma ilmu dengan paradigma `ulŭm Alqur’an. Adapun langkah-langkah penafsirannya adalah sebagai berikut: 1.Menentukan sub topik pembahasan, 2.Memahami hakikat ilmu pengetahuan atau realitas atas sub topik pembahasan berdasarkan metode ilmiah, 3.Melakukan kerja penelitian di lapangan atau di laboratorium atas sub topik pembahasan ( jika diperlukan), 4.Menentukan ayat-ayat yang relevan dengan topik pembahasan, 5.Memilah metode pemahaman teks ayat, 6. Analisa teks ayat dengan konteks dan takwil, 7. Sintesa atas pemahaman ayat dengan hakikat ilmu dan realitas sub pembahasan. Hasil analisis sintesis ini selanjutnya dihadapkan kepada fungsi dari “metode tafsir ilmi” (al-manhaj fî al-tafsîr al-`ilmî) yaitu:  a. Tabyîn (menjelaskan ilmu pengetahuan ), b. i`jâz ( mengungkap kemukjizatan Alqur’an di bidang ilmu pengetahuan), c. Istikhrâj al-`ilmi ( adanya isyarat penemuan teori ilmu pengetahuan baru). Jika didapatkan, maka ditawarkan kepada publik atau kepada para pakar ilmu pengetahuan (saintis) untuk ditindak lanjuti. Ketiga fungsi ini merupakan tolok ukur tingkat keberhasilan dari “metode tafsir ilmi”.             Langkah-langkah metode tafsir ilmi tersebut berdasarkan sistematika berikut, yaitu: a. konsepsi metode tafsir ilmi, b. prinsip-prinsip metode tafsir ilmi, dan c.metode-metode analisis dalam tafsir ilmi. Sedangkan hubungan ketiga bahagian dari sistematika “metode tafsir ilmi” tersebut adalah: pertama, konsepsi dan prinsip; konsepsi adalah syarat, sedang prinsip merupakan rukunnya. Kedua, konsepsi dan metode; konsepsi merupakan teori dan kriteria sedang metode adalah praktik dari teori dan kriteria tersebut. Ketiga, prinsip dan metode; prinsip adalah rambu-rambu, sedang metode merupakan jalur yang tidak boleh menyalahi dari rambu-rambu yang telah ditetapkan.            Adapun penjelasan tentang sistematika “metode tafsir ilmi” ini adalah sebagai berikut: B.1. “Konsepsi metode tafsir ilmi”; ia memiliki dua kategori, a. Paradigma tafsir Alqur’an, b. Paradigma ilmu. B.1.A. Paradigma tafsir Alqur’an            Paradigma ini memperhatikan dua unsur, yaitu: a. Etika menafsirkan Alqur’an, b. Persyaratan menafsirkan Alqur’an. Dalam etika, dituntut untuk: 1. memiliki niat yang lurus dan akhlak yang baik;[2] 2. jujur, teliti, dan independen;[3] 3. sistematis, baik, dan benar.[4] Sedangkan dalam persyaratan menafsirkan, harus dipenuhi tiga kategori: 1. tidak subjektif,[5] 2. memiliki kapabilitas ilmu sesuai dengan pembahasan yang terkait, yaitu: memahami periode turunnya Alqur’an[6], macam serta fungsi tata bahasa arab,[7] dan beberapa kaidah tafsir tertentu. Kaidah Tafsir adalah: kaidah-kaidah hasil ijtihad mufassir atas objek dalil yang memiliki tema yang seragam kemudian diinduksikan menjadi kaidah umum sehingga dapat bermanfaat bagi proses penafsiran suatu ayat yang terkait dengan kaidah yang ada. Kaidah dimaksud yaitu, sebagai berikut:[8]1. alîf lâm yang terdapat pada kata sifat, nama jenis, menunjukkan makna menyeluruh sesuai dengan makna kata atau lafal-nya”, contoh: pada Q.S. alThâriq/86: 1:   وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِق ِ(1)  , lafal:  al-samâ’  (langit) yang dituju pada ayat tersebut adalah bermakna: seluruh lapisan langit yang ada di jagad raya ini. Makna tersebut terjadi karena lafal samâ’ merupakan isim jenis yang kemudian dimasuki alîf lâm (ا ل  ) sehingga menjadi َالسَّمَاءِ (al-samâ’ ).2. “Lafal nakîrah yang terdapat dalam kalimat nafyî (negasi), nahyî (pelarangan), syarth (persyaratan), atau  istifhâm (pertanyaan), memberikan pengertian yang umum”, seperti: Q.S.   al-Thâriq/86:4:  إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَيْهَا حَافِظ ٌ(4)

Pada ayat di atas, lafal: nafs (jiwa) berbentuk nakîrah dan berada dalam kalimat nafyî, sehingga makna  nafs yang ada pada ayat ini menunjukkan kepada “seluruh jiwa yang ada dalam konteks rangkaian ayat tersebut”.

3. “Bahwasanya mudlâf menunjukan makna umum, sebagaimana makna yang dituju oleh ism al-jam`i  “. Contoh, Q.S. al-Nisâ/4:23:      حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ

makna أُمَّهَاتُكُمْ (Ibu kamu sekalian) termasuk: ibu sampai seterusnya ke atas, seperti nenek, baik dari pihak ibu atau dari pihak bapak.

4. Jika terjadi pertentangan antara dilâlah nash yang pasti dengan teori ilmiah, maka teori ini harus ditolak, karena nash adalah wahyu dari Tuhan yang ilmunya mencakup segala sesuatu. Jika terjadi kesesuaian antara keduanya maka nash merupakan pedoman atas kebenaran teori tersebut. Jika nash tadi adalah tidak pasti dilâlah-nya sedangkan hakikatnya alam itu pasti, maka nash itu ditakwilkan.[9] Dalam konteks ayat-ayat sains, maka takwil yang digunakan adalah: gerak mental intelektual atau nalar mufassir,[10] dan pentakwil mengalihkan ayat pada makna yang sesuai dengan makna yang dimungkinkan oleh ayat dan tidak bertentangan dengan Alqur’an dan al-sunnat.[11] Ia terkait dengan istinbâth yang didasarkan pada fakta-fakta teks dan data-data bahasa, lalu mencari signifikansi melalui makna.[12]  B.1.B.Paradigma ilmu            Pada paradigma ilmu, mufassir tafsir ilmi harus bersandarkan kepada tiga kategori: ontologi ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi ilmu. Dalam ontologi ilmu hendaknya dilakukan: a. mencari ciri objek dengan klasifikasi, komparatif, dan kuantitatif; b. mencari sifat-sifat pokok di tengah perubahan objek; c. statistika untuk mengembangkan hipotesis dan analisis.[13] Kedua, epistemologi, yaitu teori ilmu yang berdasarkan kepada: pola ilmu (teori dan praktik), sumber ilmu ( rasional, empiris, dan intuisi), dan metode ilmiah (abduksi, deduksi, dan induksi).[14] Ketiga, aksiologi; sesuai dengan tujuan Alqur’an atau universalisme ilmu.B.2. “Prinsip-prinsip analisis tafsir ilmi:”            Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam kegiatan analisis tafsir ilmi adalah sebagai berikut, 1. Percaya bahwa alam ini diatur oleh Tuhan yang esa (al-tawhîd),[15] 2. Berpedoman kepada filsafat ilmu alam tertentu sesuai bidang kajian yang hendak diteliti atau dibahas,[16] 3. Berpegang kepada sifat keuniversalan dan keumuman Alqur’an dalam isyarat ilmiah seperti ketetapan sunnatullah atau dan hukum alam.[17] 4. Melakukan pembahasan yang integral dan utuh antar ayat Alqur’an yang terkait dengan realitas. 5. Melakukan kegiatan pentakwilan ilmiah,[18] 6. Memperhatikan corak penafsiran bayânî,[19] 7. Melakukan hubungan yang seimbang antara ayat dengan premis ilmiah, 8.Memperhatikan hakikat ilmiah yang fleksibel.[20] 9. Berpegang teguh kepada esensi, substansi, dan eksistensi Alqur’an secara keseluruhan.[21] 10. Memperhatikan hadis Nabi saw yang terkait. B.3. Metode analisis tafsir ilmiYaitu: a. metode semantik, b. metode tematik. Metode semantik disini diawali dengan penentuan medan semantiknya dari berbagai klasifikasi medan semantik yang ada, sesuai dengan sub tema pembahasan, yaitu: [22]

a.      Medan makna kolokasi, yaitu: medan makna yang berada di tempat dan di lingkungan yang sama. Contoh: lafal “ta’wîl” yang disebut di dalam Q.S. Alu Imrân/3:7, memiliki medan makna kolokasi sebagai berikut: umm al-kitâb, ayat muhkamât, âyât mutasyâbihât, zaigh, ibtighâ’a al-fitnat, al-râsikhŭna fî al-`ilmi, keimanan (dari lafal âmanna), dan ulŭ al- albâb.

b.      Medan makna paradigmatik, yaitu: medan makna berdasarkan lafal yang mengindikasikan gradualitas atau proses, kata kerja, pola fikir, dan sebagainya. Contoh: lafal “al-murâhaqat”, memiliki medan makna: al-thufŭlat dan al-rusyd. Lafal “sâ`î” memiliki medan makna: yamsyî dan yajrî.c.       medan komponen makna, yaitu: medan makna pada lafal yang mengandung kesatuan objek atau terdiri atas bagian-bagian objek yang saling menyatu atau melengkapi. Ia merupakan atribut atau ciri dari lafal dimaksud. Contoh: lafal “al-nabî”  memiliki medan makna: al-wahyu, kitab suci (al-kitâb), mukjizat (mu`jizat). Juga lafal al-‘usyrat mengandung medan makna: al-zauj, al-zaujat, al-walad, al-bayt, al-rahîm wa al-mu`âmalat, dan al-jîrân. d.      medan makna referensional dan non-referensional, yaitu: medan makna berdasarkan objek yang dituju, seperti: lafal “al-kitâb” (kitab suci)  memiliki medan makna: al-rasm, al-nash, al-ushŭlat. Sedangkan contoh nonreferensional yaitu: akan (‘arâda), karena (li ajli), terhadap (ilâ). e.      medan makna denotasi-konotasi, yaitu: medan makna berdasarkan makna asal atau subjektivitas objek. Contoh: almuhkam, memiliki medan makna denotasi: al-man`u, al-mutqinu, sedang medan makna konotasi-nya adalah: al-naskh, al-‘ushŭl, al-qâidat.f.        medan makna relasional morfologis, yaitu: medan makna berdasarkan derivasi kata. Contoh: lafal “al-‘umm” memiliki medan makna: al-‘ummah, al-‘imâm.g.      medan makna eksistensional dan intensional, yaitu: medan makna dengan memahaminya dari luar atau dari dalam objek (outsider-insider). contoh:  lafal “Muslim” jika dilihat dari dalam (insider) memiliki medan makna: orang yang percaya kepada Allah swt dan nabi Muhammad saw dan atau melaksanakan ajarannya. Sedangkan jika dipahami dari luar (outsider), lafal “muslim” adalah: orang yang taat, patuh, bersatu, damai, integral, dan makna lain yang bersifat umum.h.      semantik lafzhî-isthilâhî, yaitu: semantik berdasarkan penggunaan suatu lafal dalam konteks kalimat atau bidang ilmu tertentu. Untuk dapat mendekatkan teks dengan konteks, terdapat lima pendekatan: 1. konteks sosio-kultural, 2. konteks pewahyuan, 3. konteks mushhaf, 4. konteks linguistik (implisit-eksplisit), 5. konteks pembacaan internal (mutakallim) dan eksternal (mukhâthab). Sedangkan bidang ilmu dimaksud adalah sesuai dengan isi dari teks yang dibahas/diteliti. Contoh: lafal “istiwa” pada ayat berikut dimaknai dengan: “mengatur perjalanan alam semesta”, dan lafal “ `Arasy”, bermakna: “dengan tetap memperhatikan substansi alam dan hukum singularitas alam raya yang sudah ditetapkan-Nya”. Karena ayat dimaksud mengemukakan dalam konteks penciptaan langit dan bumi (alam raya).اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَا لَكُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا شَفِيعٍ أَفَلَا تَتَذَكَّرُون َ(4)i.        semantik sintaksis, yaitu: semantic berdasarkan tujuan dari pola kalimat (aghrâdl uslŭb ilqâ‘i al-jumlat), contoh: “rabbî lâ tadzar `alâ al-ardli min al-kâfirîna dayyârâ”, uslub kalimat tersebut adalah li al-nahyî al-du`â’î. (larangan dan do’a) bermakna: al-ghadlab al-syadîd (kebencian dan marah besar). Contoh pola kalimat imperatif (al-uslŭb al-khabarî): “rabbî innî limâ anzalta ‘ilayya min khairin faqîr” uslubnya khabarî atau kalimat imperatif dan bermakna: al-istirhâm wa al-isti`thâf (mengharap belas kasih dan kelembutan).j.        Bahasa sebagai sistem semiotik:      Memahami karakteristik bentuk kode bahasa sebagai lambang makna bahasa dan hubungan kode bahasa itu dengan dunia luar atau budaya yang diacunya serta hubungannya dengan pemakai kode dimaksud. Contoh pertama, ayat-ayat muqatha`at  seperti pada Q.S. al-Mulk/67:1 berikut: ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ ﴿١﴾Lafal ن dapat ditakwil dengan “ruang” dan lafal وَالْقَلَمِ  dapat bermakna “energi”; contoh kedua, kode lafal “al-jâhiliyyat di syair/puisi pra Islam dapat bermakna “lawan dari ketidaktahuan” sedangkan lafal “al-jâhiliyyat di syair atau Alqur’an masa turunnya wahyu dapat bermakna lawan dari lafal al-hilmu”.             Setelah diketahui medan makna dari lafal yang dibahas, maka dilakukan kegiatan berikut: 1]. mengumpulkan penggunaan kata yang dibahas dalam sejumlah besar puisi pra-Islam, 2]. meneliti penggunaan kata yang dibahas pada sîrat nabawiyyat, 3]. membandingkannya dengan makna kamus bahasa Arab sesuai penggunaan kata itu pada masanya, 4]. meneliti penggunaan kata yang dibahas pada ayat Alqur’an. Jika langkah-langkah tersebut tidak memungkinkan atau tidak relevan dengan maksud dan karakteristik ayat-ayat sains, maka seorang mufassir ayat-ayat sains dapat juga mengaplikasikan tharîqat berikut: a. mengumpulkan medan makna yang berbentuk sinonim atau antonim, b. melakukan penafsiran konstekstual pada masing-masing ayat, c.memunculkan pendapat dari para pakar atau ahli terkait dengan lafal yang dibahas.[23]

Sedangkan metode tematik yang dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi ayat-ayat sains adalah: metode tematik atau mawdlû`î, berdasarkan permasalahan yang ingin diketahui solusinya melalui ayat  atau sejumlah ayat Alqur’an secara utuh. Metode “tematik dalam ayat” ini adalah dengan mengangkat berbagai isyu kehidupan manusia untuk memahami wahyu yang mengacu pada kesatuan pandang terhadap alam dan kehidupan. Dalam melakukan kerjanya, mufassir tidak memulai aktivitas penafsirannya dari teks Alqur’an tetapi dari realitas kehidupan, baik yang menyangkut doktrinal, sosial, budaya, ekonomi maupun kosmos murni atau sains, dan realitas lainnya. Lalu mufassir menghimpun pemikirannya untuk melakukan tanya jawab di hadapan Alqur’an. Sehingga pendekatan tematik ini akan selalu konstan dengan pengalaman manusia karena tafsir ini berusaha menilik garis-garis besar substansial Alqur’an dalam menemukan pandangan Islam mengenai isyu apapun yang ada dalam kehidupan.[24] Dari penjelasan di atas, secara sistematis dapat disimpulkan langkah-langkah yang dilakukan pada metode tematik ala Bagir Al-Shadr, yaitu: 1.Analisa Realitas atau fenomena, 2. Pengelompokkan hasil analisis berdasarkan kategori tertentu, 3. Sejumlah analisis didialogkan dengan ayat-ayat yang relevan.

Selanjutnya, contoh aplikasi yang hendak diangkat dalam “metode tafsir ilmi” ini ( al-manhaj fi al-tafsîr al-`ilmî ) adalah berkaitan dengan “konsep penciptaan alam”  sebagai berikut.

C. Penciptaan alam raya berdasarkan metode tafsir ilmi.            Penafsiran ayat-ayat Alqur’an tentang penciptaan alam raya masih belum memberikan titik temu. Perbedaan itu, ada yang berkisar pada prosesnya,[25] sebagaimana terjadinya perbedaan pada asal-usulnya. Pada pembahasan kali ini akan dibahas tentang keduanya yakni: proses dan asal-usul alam raya berdasarkan “metode tafsir ilmi” (al-manhaj fî al-tafsîr al-`ilmî) yang memperhatikan hubungan dua sudut pandang, yaitu paradigma ilmu dengan paradigma tafsir Alqur’an. Selanjutnya akan dikemukakan tentang sintesa kosmologis atas tema tersebut.C.1. Teori dan hakikat penciptaan alam raya

Menurut para filosof muslim ada dua kelompok besar tentang perbedaan asal-usul alam raya ini yaitu: kelompok Asy`ariyyat, dan kelompok Mu`tazilat yang didukung oleh filosof muslim lainnya. Kelompok pertama menyatakan bahwa alam semesta diciptakan dari tiada secara langsung, sedang kelompok kedua berpendapat bahwa alam semesta diciptakan dari ada secara tidak langsung.[26]

Teori yang sekarang menjadi pegangan penting dalam menjelaskan asal-usul alam raya atau universum ialah teori big-bang (BB). Rahman Djay, seorang ahli di bidang ilmu dasar dan terapan, menulis tentang teori Big-Bang ini sebagai berikut:

Ilmuwan pertama yang merumuskan teori BB ialah Lemaitre (1927) dan Gamow (1948). Teori Lemaitre didasarkan atas persamaan-persamaan medan Einstein ( G µν = -KT µν atau bentuk lebih umumnya : G µν  + 9 µν = -KT µν ) dan argumentasi bahwa entropy dari universum akan menaik sesuai dengan bertambahnya waktu. Jadi menurut Lemaitre harus pernah ada kondisi entropy minimum dimana materi memiliki kemungkinan maksimum untuk mengorganisir keadaan sistemnya.

Lamaitre mengusulkan adanya “atom primordial”, dimana seluruh materi yang ada dalam universum  mengisi atom primordial tersebut. Disebabkan oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg ~suatu prinsip fundamental dalam fisika dengan implikasi filsafatnya yang sangat menakjubkan ~ manusia terbatas pengetahuannya pada waktu universum masuh berumur  t = 10-43 detik yang disebut “waktu Planck.” Pada “waktu Planck” densitas universum adalah 5 x 1093 g.cm-3, temperaturnya 1032 K dan energi rata-rata adalah 1019 Gev. Data-data tersebut adalah hasil perhitungan dari teori Relativitas Umum (TRU) Einstein. Tetapi ada pendapat bahwa TRU tidak berlaku pada waktu umur universum  lebih kecil dari pada  tp,  dimana pada waktu radius universum masih 10-4 cm. Mekanisme yang diharapkan dapat menjelaskan fenomena terjadinya universum pada waktu lebih kurang dari tp,  adalah Quantum Gravity yang masih dalam status bayi. Jadi yang mendukung teori BB adalah evidensi mendasar dari: i) solusi persamaan-persamaan Einstein, ii ) Jumlah besarnya helium dan deuterium yang diamati dalam universum, iii ) Kecocokan antara penaksiran umur universum dari pelbagai gagasan, iv ) Latar belakang radiasi gelombang-mikro yang diamati dalam kosmos, dan v ) Distribusi radio galaksi. [28]

Menurut penjelasan A. Baiquni, seorang fisikawan, menyatakan:[29]

 “ Ketika terjadi ledakan yang sangat dahsyat bagaikan bola api, maka energi dan materi beserta ruang dan waktu keluar dengan kekuatan yang dahsyat dengan temperatur dan kerapatan yang sangat tinggi. Dalam kondisi demikian, molekul, atom, nukleus, proton, dan neutron, tidak dapat muncul karena akan lebur terurai menjadi zarah-zarah sub nuklir.

Ketika alam semesta mendingin, karena ekspansi yang super cepat, sehingga suhunya merendah melewati 1000 trilyun-trilyun derajat, pada umur   10-35 sekon, terjadilah gejala “kelewat dingin” maka di alam semesta terjadi pula semacam pengembunan. Pada saat pengembunan, tersentak keluarlah materi dari bentuk energi yang memanaskan alam kembali menjadi 1000 trilyun-trilyun derajat. Namun seluruh alam terdorong membesar dengan kecepatan yang luar biasa selama 10-32 sekon. Ekspansi yang luar biasa cepatnya ini menimbulkan dengan tiupan dahsyat, yang dikenal sebagai gejala inflasi.

Selama proses inflasi ini, ada kemungkinan bahwa beberapa alam dapat bermunculan beserta hukum-hukumnya masing-masing, namun para kosmolog tidak dapat memastikan secara eksak berapa jumlahnya yang pasti. Karena materialisasi dari energi yang tersedia akhirnya berakibat terhentinya inflasi tak terjadi secara serentak, maka di lokasi-lokasi tertentu terdapat konsentrasi materi yang merupakan benih galaksi-galaksi yang tersebar di seluruh alam.”

Kesimpulan teori Big-Bang (BB) tersebut adalah bahwa dentuman besar (big-bang) terjadi ketika seluruh materi kosmos keluar dengan kerapatan yang sangat besar dan suhu yang sangat tinggi dari volume yang sangat kecil. Alam semesta lahir dari sebuah singularitas dengan keadaan ekstrem. Nyata disini bahwa semula alam tiada.[30] Pemisahan mereka (alam ini, yakni ruang dan materi) terjadi dalam suatu dentuman besar tersebut ke seluruh penjuru ruang alam yang berkembang dengan sangat cepat sehingga tercipta universum yang berekspansi. [31]

Selanjutnya proses kurun waktu universum ini atau disebut juga proses  universum adalah mengakui teori BB, sebagai “teori standard.” Teori ini menyebutkan adanya enam era, sebagaimana pemaparan berikut ini:[32]

Kurun waktu atau babak pertama pemuaian universum yang disebut era Planck (waktu 0-10-43 detik ) menunjukkan bahwa perilaku universum ditentukan oleh efek kuantum, dengan temperatur > 1032 K. dalam era Planck yaitu kurun pertama terciptanya universum. Kelihatannya gravitasi dikuantisasi dan masih bergabung  (unified) dengan gaya lainnya yang ada dalam universum. Jadi nampaknya Cuma ada satu gaya alam dengan empat komponen. Salahsatu  fenomena utama quantum mekanika pada era Planck ialah penciptaan partikel yang berpasang-pasangan.

            Setelah universum menempuh era Planck, maka ia memasuki era yang kedua, dan disebut era Hadron yang lamanya dari t = 10-43 detik sampai t = 7 x 10-5 detik. Dalam era Hadron, jika temperatur > 1.6 x 10-12 K banyak terbentuk meson dan antimeson. Mukleon (yaitu proton dan neutron) banyak terbentuk bila temperatur > 1013 K. Pada t = 10-35 detik masih ada satu gaya, tetapi pada t = 10-12 detik sudah lahir gaya electroweak, yaitu gabungan gaya elektromagnetik dan gaya lemah nuklir.

            Selanjutnya, universum memasuki era Lepton, yaitu suatu kurun waktu dari t = 7 x 10-5 detik ( temperatur 1.6 x 1012 K) hingga  t = 5 detik (temperatur 6 x 109 K ).

            Era keempat dari universum disebut era radiasi, berlangsung dari t = 5 detik sampai t = 5 x 105 tahun (temperatur menurun dari 6 x 109 K menjadi 4 x 103 K). Dalam era ini proses radiasi masih dominan daripada pembentukan materi, masih lebih banyak photon. Hubungan energi dari materi terhadap temperatur dalam era radiasi proporsional dengan T4 (seperti pada photon). Waktu umur universum t = 5 x 105 tahun tercapai keseimbangan antara materi dengan energi radiasi. Dalam era radiasi itu terjadi fenomena penting sejak dari t= 10 detik sampai t = 3 min 45 detik ( temperatur T = 0.9 x 109 K), yaitu nucleosynthesis unsure-unsur ringan seperti  deuterium dan helium. Antara selesainya proses nucleosynthesis (t = 4 min) sampai masa formasi atom-atom ( t rec = 7 x 105 tahun) tidak terjadi peristiwa penting. Sesudah waktu rekomendasi, universum mengalami dua peristiwa penting.

            Era kelima (era materi pertama) yang berlangsung dari t = 7 x 105 sampai t = 3 x 108 tahun ialah era pembentukan protogalaxy dan protocluster oleh mekanisme: i) ketidakstabilan gravitasi, dan ii) turbulans yang berasal dari universum tatkala masih awal.

            Era keenam, yaitu keruntuhan protogalaxi untuk membentuk galaksi-galaksi seperti yang diamati dewasa ini ( t = 3 x 108 tahun sampai sekarang). Pembentukan galaksi dari protogalaksi didasarkan atas peristiwa runtuhnya protogalaksi. Dalam peristiwa ini materi dari protogalaksi (bintang-bintang atau gas) bergerak dengan kecepatan tinggi menuju ke suatu pusat, tanpa ada gaya yang melawannya. “waktu runtuh” (collapse time) sama dengan waktu jatuh bebas dari materi di dalam galaksi. Jadi ada dua skenario yang melukiskan runtuhnya protogalaksi untuk membentuk galaksi. Skenario pertama terjadi jika protogalaksi adalah gas, dan skenario kedua terjadi jika protogalaksi adalah bintang.

           

C.2. Alqur’an dan hakikat penciptaan alam raya

Ayat-ayat Alqur’an yang terkait dengan asal-usul dan proses alam raya ini adalah sebagai berikut:

1.      Q.S. Al- Anbiyâ’/21:30

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ Artinya: “ dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air itu, Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman.?”[33]

2.      Q.S. al-Dzâriyât/51:47:

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ artinya: “ dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.”[34]

3. Q.S. Hûd/11:7:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَلَئِنْ قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ (7)Artinya: “dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arasy –Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekkah) “sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: “ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”[35] 4. Q.S. Fushshilat/41:9-12: قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9) وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ (10) ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيم ِ(12) Artinya: “Katakanlah: “sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesa alam. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuninya) dalam empat masa. (penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memelihaanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.”[36] 

5. Q.S. al-Thalâq/65:12:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُواأَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا (12) Artinya: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Alllah Maha kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [37]

6. Q.S. al-Sajdah/32: 4:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَا لَكُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا شَفِيعٍ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ (4)Artinya: “Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada diantara keduanya dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam  di atas `Arasy. Tidak ada bagi-Mu selain dari pada-Nya seorang penolong pun dan tidak pula seorang pemberi syafa`at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.?”[38] 

Sedangkan ayat-ayat pendukung atas beberapa ayat tentang proses penciptaan alam raya ini diantaranya adalah: Q.S. al-Anbiyâ’/21:31-33, al-Ma’ârij/70:4, al-Mulk/67:3-4, shaffat/37:5-7 dan surah al-A’râf/7:54.

Terkait dengan proses penciptaan alam  raya, diketahui bahwa surat al-Anbiyâ’/21: 30 memberikan petunjuk bahwa teori big-bang (BB) yang diungkap oleh para ilmuwan sekitar awal abad 20 itu, tepatnya mulai 1927 (atau sekitar 1350 tahun setelah Alqur’an diturunkan) telah lebih dahulu diungkap oleh ayat ini. Disini  dinyatakan:              

أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا

 ( “bahwasanya itulah berbagai galaksi dan bumi ini pada mulanya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya” ). 

Lafal فَتَق yang terdapat dalam penggalan ayat di atas memiliki makna-makna berikut: “celah, letusan, membanting, membelah, membongkar, membengkak hingga pecah, lubuk air.” [39] Makna-makna tersebut semakin memperkuat dugaan adanya peristiwa yang dikemukakan oleh teori Big-Bang, dan hal ini dapat menunjukkan bahwa ayat Alqur’an merupakan mukjizat sepanjang zaman selama umur bumi ini, karena proses BB masih terus berjalan hingga akhir zaman berdasarkan penelitian para ahli di bidangnya.

Pada ayat tersebut dinyatakan: “lalu Kami pisahkan antara keduanya,” nampak bahwa jika digambarkan “keduanya” maka bumi pada mulanya menempel atau menyatu dengan kumpulan galaksi yang lain beserta planet-planet atau benda-benda langit lainnya dalam sebuah “bola besar”. Lalu  “bumi”  yang ada di bagian celah “bola besar” tersebut, akibat letusan bola besar ini terbanting dan bahagian bumi yang menempel tadi menjadi cekungan lautan dan samudra, serta bahagian lain yang terkena dentuman besar itu pun juga menjadi cekungan pula, lalu bola besar itu membelah, terbongkar, serta membengkak hingga pecah mengeluarkan kandungannya termasuk air. Hasil pecahan bola besar itulah yang kemudian menjadi benda-benda langit atau galaksi-galaksi selain bumi.

 Bahkan ayat ini memberikan informasi tambahan setelah itu yaitu, bahwa air itulah yang mempengaruhi atau yang mengakibatkan adanya kehidupan di alam raya. Penulis dalam Q.S. al-Anbiyâ’/21:30 ini memaknai lafadz:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ

( “dan dari air itu Kami jadikan pengaruh untuk segala sesuatu yang hidup” ).[40]  “ Air “ memang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup”. Menurut terminologi sains, makna “ air “ merupakan: kumpulan unsur kimiawi berupa oksigen (O) dan hidrogen (H2 ). Unsur pertama, yaitu oksigen  dibutuhkan oleh umat manusia dan makhluk hidup lainnya, sedang hidrogen (H) yang dapat memunculkan atau mengakibatkan terjadinya ledakan besar. 

Penggunaan lafal    جعلdalam konteks penciptaan pada ayat-ayat Alqur’an,[41] memiliki makna: “ menjadikan sesuatu dari bahan atau materi yang sudah ada atau keberadaannya terkait dengan wujud yang lain.” Hal ini tentu saja semakin memperkuat proses “big-bang” yaitu pada era terjadinya  pendinginan/pemuaian atau era Hadron setelah ledakan yang pertama.

Ayat ini diakhiri dengan ungkapan: أَفَلَا يُؤْمِنُونَ yang merupakan kalimat pertanyaan tetapi yang dimaksud adalah perintah,[42] untuk mengimani atau mempercayai kebenaran informasi tersebut. Digunakannya bentuk ungkapan gaya bahasa majâzî tersebut, biasanya untuk memperkuat atau sebagai ta’kîd disebabkan khithâb atau audiens yang dituju oleh ayat tersebut sulit untuk mempercayainya secara langsung.

Perintah beriman pada ayat di atas, mengingatkan penulis tentang seringnya ungkapan perintah ini diiiringi dengan perintah amal saleh (`âmal al-shâlih) pada ayat-ayat lain dalam Alqur’an, baik secara teks atau konteks. Artinya, setelah mengimani adanya informasi pada ayat di atas maka harus diiringi dengan penggunaan potensi yang dimiliki untuk mewujudkan segala hal yang terkait dengan perintah tersebut, sebagai amal saleh.

Ada 6 potensi yang dimiliki manusia, yaitu: a. potensi fisik; mendayagunakan fungsi tubuh dan pertumbuhannya. b. potensi mental; mendayagunakan dan mengembangkan daya imajinasi. c. potensi intelektual; mendayagunakan kemampuan berfikir yang diasah dengan metode filsafat. d.potensi emosional/etika; mendayagunakan kemampuan leadership (kepemimpinan) untuk mengatur simpati dan empati. e. potensi moral; mengembangkan estetika, feeling dengan nilai-nilai agama. f. potensi spritual; mengembangkan ajaran-ajaran spritual, yaitu: menyadarkan manusia bahwa yang real itu adalah sang pencipta alam, Allah swt. Potensi spritual ini dapat juga bermanfaat bagi penajaman daya intuisi manusia.

Pada ayat berikutnya, yakni Q.S. al-Anbiyâ’/21:31-33 merupakan informasi atas proses lanjutan dari penciptaan bumi dan hal-hal yang melengkapi bumi dan dibutuhkan oleh manusia, seperti dijadikannya gunung, atmosfir, matahari, dan bulan. Adanya penyebutan benda-benda tersebut, karena ia memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan umat manusia sebagai khalîfat di bumi ini,[43] sementara proses lanjutan yang terjadi pada benda-benda langit atau planet yang lain selain bumi tidak disebutkan oleh Allah swt karena tidak terkait langsung dengan proses kelangsungan jabatan ke-khalifahan-nya.

Pada ayat kedua tentang penciptaan alam, yakni Q.S. Dzâriyât/51:47 disebutkan:

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ (47) ( “Dan galaksi itu kami susun dengan kekuatan besar

 dan Kami pula yang meluaskannya” )

            Ayat di atas berbentuk kalimat nominal atau al-jumlat al-‘ismiyyat, yang bertujuan: li ta’kîd wa al-istimrâr dan itu mengindikasikan bahwa proses yang dikemukakan pada ayat ini berlangsung secara terus menerus.  Makna  “banâ”  yang tercantum pada ayat di atas, dalam konteks penciptaan langit/galaksi (al-samâ’ ) dipergunakan oleh Alqur’an dalam beberapa ayatnya yang lain dengan makna: “ penciptaan yang berproses secara sistem dan (terus) disempurnakan.”.[44] Sedangkan lafadz: “ bi ayd ” bermakna: kekuatan, otoritas, dan kontrol.[45] Jadi proses penciptaan langit atau galaksi dilakukan atau ditangani dengan kontrol langsung dari Allah swt dengan sistem terus berlangsung.

Selanjutnya, ungkapan “ wa innâ lamûsi`ûn ( وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ ) yang menggunakan ism al-fâ`il  semakin memperkuat makna keberlangsungan proses penciptaan galaksi-galaksi ini, dan lafadz ini menunjukkan bahwa: galaksi atau langit itu terus menerus berkembang dan melakukan ekspansi. Hal tersebut sejalan dengan sifat hukum singularitas alam semesta, yang telah diteliti oleh para ilmuwan akhir abad 20 di Univ. New York, sebagaimana tersebut.            Ayat  ketiga tentang penciptaan alam ini, disebutkan dalam Q.S Hûd/11:7:وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَلَئِنْ قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ (7)

Lafal “khalaqa” yang dipergunakan dalam ayat ini, secara tata bahasa berasal dari lafal: “khalq”  bermakna: “al-taqdîr al-mustaqîm” (ketetapan yang seimbang).[46] Itu menunjukkan bahwa: penciptaan alam raya yakni: galaksi dan bumi ini, dilakukan oleh Allah swt berdasarkan suatu sistem yang baku. Selanjutnya dinyatakan bahwa: penciptaan alam raya ini berlangsung selama 6 (enam) periode/tahapan ( fî sittati ayyâm),[47] dengan pusat penciptaannya adalah: “Arasy” (`Arasy) yang dikelilingi oleh air sebagai sesuatu yang mengakibatkan adanya kehidupan di alam raya.[48]

Setelah menginformasikan tentang adanya 6 tahapan/periode dalam penciptaan alam raya ini,  ayat selanjutnya adalah:           وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

  Dalam penggalan ayat ini, ada dua kata kunci, yaitu: “`Arasy” (pusat penciptaan) dan al-mâ’u (air).  Kedua hal ini jika dikaitkan dengan analisis filosof abad modern yang juga pemikir Islam yaitu Annemarie Schimmel menyatakan bahwa: kehidupan alam semesta ini akan tetap berlangsung jika terjadi penyatuan kedua prinsip: yakni aspek “jalâl” (kekuasaan, aspek maskulin atau aspek “yang”) dan aspek jamâl Tuhan (kecintaan, kecantikan, sifat feminim atau aspek yin).[49] Inti kualitas sifat maskulin adalah: aktif, melimpahkan, sedang sifat feminim adalah pasif, menerima, dan berserah diri.[50] Seperti dua huruf dalam lafal:  كن  (jadilah).[51]

 Lafal  كن  di dalam Alqur’an yang ditujukan dengan konteks penciptaan alam ~secara umum~ disebut sebanyak 6 (enam) kali, yaitu: al-Baqârah/2:117, alu Imrân/3:47, al-An’am/6:73, an-Nahl/16:40, Mu’min/40:68, dan surah Yâsîn/36:82.

Adanya pemahaman makna lafal كن di atas, kemudian jika memperhatikan adanya munâsabat atau keterkaitan keenam ayat tersebut dari segi penggunaan konteksnya yang sama, maka ternyata di dalam keenam ayat ini dapat dimaknai dengan makna-makna yang sama pula. Pada keenam ayat tersebut, terdapat penggunaan lafal “qâla” dengan berbagai derivasinya yang ~hemat penulis~ masing-masing dapat bermakna: “perintah berproses” (amara bi al-kayf). Makna “perintah berproses” untuk lafal qâla tersebut dipilih karena berbagai kata kerja sebelum lafal qâla pada keenam ayat di atas dapat bermakna sama pula sesuai dengan konteksnya, yaitu: makna: “menghendaki terjadinya” (‘arâda bi al-shairŭrat). Sebagaimana dapat terbaca pada ayat-ayat berikut.

  • Q.S. al-Baqârah/2:117:

وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (117)

 (dan apabila Allah swt menghendaki terjadinya suatu perkara, maka Ia hanya memerintahkan proses kepada “faktor yang” [ al-kâf ] dan “faktor yin” [nûn] maka jadilah perkara itu)

·        Surah Alu Imrân/3:47:َإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُون ُ(47)

 (apabila Allah menghendaki terjadinya suatu perkara, maka Ia hanya memerintahkan proses kepada “faktor yang” [ al-kâf ] dan “faktor yin” [nûn] maka jadilah perkara itu)

·        Surah al-An’am/6:73:وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ وَيَوْمَ يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ

 ( dan Dialah yang menghendaki terjadinya alam semesta dengan benar, dan ketika pada suatu periode Ia memerintahkan proses kepada :”faktor yang” [al-kâf ] dan “faktor yin” [ nûn] maka jadilah alam itu)

  • Surah Mu’min/40:68.

فَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (68)

 (Maka apabila Allah swt menghendaki terjadinya suatu perkara, maka Ia hanya memerintahkan proses kepada “faktor yang” [ al-kâf ] dan “faktor yin” [nûn] maka jadilah perkara itu).

  • Surah an-Nahl/16:40:

 إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (40)

(apabila Kami menghendaki terjadinya sesuatu, Kami hanya memerintahkan proses kepada “faktor yang” [al-kâf ] dan “faktor yin” [nûn] maka jadilah sesuatu itu).

  • Surah Yâsîn/36:82:

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُون ُ(82)

 (sesungguhnya perintah-Nyalah apabila menghendaki terjadinya sesuatu, Ia memerintahkan proses kepada “faktor yang” [ al-kâf ] dan “faktor yin” [nûn] maka jadilah sesuatu itu).

Sementara itu, di sisi lain, “ ’Arasy ” yang penulis tafsirkan sebagai pusat penciptaan alam raya, menurut para filosof adalah bahwa: Arasy ini merupakan hasil perkawinan  antara “al-Qalam” dengan “nûn”. Dimana keduanya berasal dari sifat Allah, sedang sifat Allah ini merupakan manifestasi dari zat Allah swt. Selanjutnya, masih menurut para filosof muslim, bahwa ‘Arasy tersebut berinteraksi dengan “ al-Kursî “ untuk memunculkan alam raya ini.

Lalu bagaimana kaitannya pemahaman fislosof tersebut dengan proses penciptaan alam raya dalam Alqur’an ? Alqur’an menyebutkan kedua lafal ini dalam “surat al-Qalam” atau surah yang ke-68 ayat 1, yaitu:  ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُون َ(1) (nûn, wa al-Qalami wa mâ yasthurûn ).

 `Arasy ~sebagaimana tersebut~ terdiri atas “al-Qalam” dengan “Nûn  dan dapat dipersamakan dengan: “Massa” dan “ruang alam semesta”. Hal itu karena lafal “al-Qalam” dalam ungkapan surat di atas menggunakan alîf lâm (  ا ل) yang menunjukkan kata benda yang identik dengan “massa”. Massa sebagai asal-usul alam raya ini mengandung “energi” karena ada ungkapan setelah lafal “al-Qalam” yaitu: “wa mâ yasthurûn” (sesuatu yang ditulis), dan adanya “sesuatu yang ditulis” mengharuskan adanya energi. Sedang Nûn (  ن  ) ditafsirkan dengan ruang alam semesta karena setiap massa membutuhkan ruang.

kemudian lafal “Kursî” yang menjadi pasangan interaksi “`Arasy,” jika kembali merujuk kepada ungkapan ayat:  وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء ( Q.S. Hûd/11:7 ). Diketahui bahwa yang dimaksud “ Kursî ” adalah “al-Mâ’u” sebagaimana ungkapan di ayat tersebut.  Penjelasan ayat ini telah dikemukakan bahwa al-Mâ’u  sebagai sesuatu yang mengakibatkan adanya kehidupan mengandung zat oksigen dan hidrogen. Sedangkan makna “Kursî,” jika kita merujuk kepada ayat kursi yang tersebut dalam Q.S. al-Baqârah/2:255, dinyatakan: اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255)

Pada ayat di atas, dipahami memiliki dua kalimat utama: pertama; Allah swt dapat menciptakan alam semesta karena Ia mampu memberikan kehidupan secara berkesinambungan (hayyu al-qayyûm la ta’khudzuhu sinatu wa lâ nawm), kedua; Luasnya “kursî” Allah bagi terjadinya penciptaan alam semesta, karena diakibatkan oleh “pengetahuan-Nya” (ya`lamu) dan “pemeliharaan-Nya” (hifzhu). Jadi kata kunci “Kursî” atau dipahami sebagai “alMâ’u” ~sebagaimana tersebut~ dan berdasarkan ayat kursi (Q.S. al-Baqârah/2:255) ini mengandung dua aspek: pengetahuan-Nya” (ya`lamu) dan “pemeliharaan-Nya” (hifzhu).

Dengan demikian, jika dikaitkan kembali dengan proses penciptaan alam raya diketahui bahwa ada empat kata kunci yang mengakibatkan terjadinya alam semesta ini, yaitu: “al-Qalam” (Massa), “Nûn” (ruang), “Ya`lamu” (Pengetahuan), dan “Hifzhuhu” (Pemeliharaan). “al-Qalam” (Massa) merupakan “wujud pertama alam semesta atau substansi alam raya”, “Nûn” (ruang) merupakan ruang alam semesta yang luasnya muncul bersamaan dengan massa, energi, dan waktu akibat adanya gocangan besar tersebut (teori BB), “Ya`lamu” (Pengetahuan) dapat berarti “keteraturan sistem alam raya”, dan “Hifzhu” (Pemeliharaan) bisa bermakna “penetapan waktu yang serasi dan seimbang”.

Ayat selanjutnya tentang penciptaan alam dari Q.S. Hûd/11:7 tersebut adalah:                                               لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

(“untuk menguji manusia siapa yang terbaik amalnya”).

            Terkait dengan perintah beramal, pada penjelasan lalu tentang tafsir Q.S. al-Anbiyâ’/21:30 diketahui bahwa manusia dituntut untuk beramal dengan memberdayakan 6 potensi yang dapat dimilikinya, ~sebagaimana tersebut~  dan untuk menjadi yang terbaik dalam amal tersebut maka yang dibutuhkan adalah: pertama; kerja keras, kedua; disiplin. ketiga; bakat. Tetapi pada faktor yang ketiga, yakni “bakat” ini tidak banyak memberikan prosentase walaupun diakui oleh banyak pakar, ia ada pada setiap masing-masing individu.

Selanjutnya perintah tersebut diikuti dengan ungkapan ayat berikut:

وَلَئِنْ قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ (7)

Pada ayat di atas, Allah swt menginformasikan bahwa akan ada saat dibangkitkannya manusia dari kubur, untuk menghitung dan mengadili amal perbuatan masing-masing. Tetapi orang kafir atau orang yang menutup diri dari kebenaran informasi ini menyatakan bahwa: informasi tentang adanya perhitungan dan pengadilan atas amal perbuatan manusia setelah kematian di dunia adalah sesuatu ilusi belaka.

Sikap tersebut, yakni tidak terbuka atau menutup diri atas berbagai informasi, baik yang nampak atau tidak nampak seperti informasi tentang adanya eskatologis pada ayat di atas tentu saja tidak akan dapat dipahami oleh orang yang bersikap kâfir atau ingkar. Sehingga pada gilirannya akan melupakan Tuhannya, sang pencipta dan pemelihara alam semesta ini. Sikap demikian ~hemat penulis~ lambat laun akan mengurangi perjalanan umat manusia dalam mengemban tugas kekhalifahannya di muka bumi ini.

Ayat keempat tentang penciptaan alam yaitu: Q.S. Fushshilat/41:9-12:قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9) وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ (10) ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيم ِ(12)

Pada ayat tersebut, Allah swt menginformasikan bahwa bumi ini tercipta dalam dua periode/masa. Kemudian akibat telah sempurnanya penciptaan bumi ini (wa ja`ala fîhâ), terjadilah berbagai sesuatu yang kokoh ( rawâsiya)[52] yaitu energi, baik yang ada di bumi dan yang ada di atasnya. Yaitu energi gravitasi bumi, energi nuklir lemah, energi nuklir kuat, dan energi elektromagnetik.

Keempat kekuatan energi tersebut memiliki manfaat yang berkesinambungan (bâraka, berkah) dan memiliki kekuatan yang ditetapkan oleh Allah swt selama empat (4) periode. Adanya empat energi itu merupakan keseimbangan atau untuk menyeimbangkan (sawâ’an) alam semesta, bagi orang-orang yang mau mempertanyakan atau meneliti (li sâilîn) keadaan alam semesta ini.

Keberadaan keempat energi alam semesta tersebut, dijelaskan pula oleh Allah swt dalam Q.S. al-Anbiyâ’/21:31:

وَجَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ (31)

 [Kami jadikan berbagai kekuatan energi di planet bumi supaya bumi itu dapat mengembang dengan kekuatan manusia (‘an tamîda bihim) dan Kami jadikan pula pada planet bumi itu lintasan-lintasan yang luas bagi perjalanan berbagai kekuatan energi tersebut, supaya manusia dapat mendapatkan petunjuk,] dalam mengemban tugas ke-khalifahan-nya.

Sedangkan terkait dengan keseimbangan berbagai kekuatan energi dalam penafsiran ayat di atas dijelaskan pula dalam surah al-Mulk/67:3:

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ(3)

 “Dia-lah Allah swt yang menciptakan tujuh lapis langit. Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?.”[53]

Setelah mengemukakan penjelasan dalam Q.S. al-Fushishilat/41:9-10 tentang penciptaan bumi dengan berbagai kekuatan energi tersebut, dilanjutkan dengan ayat ke-11 yang menyatakan bahwa: Allah swt menuju penciptaan proses pembentukan galaksi yang pada mulanya adalah protogalaksi yang berbentuk gas (dukhân).

Kemudian dinyatakan:

فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11)

Dapat dipahami dari pernyataan ayat di atas bahwa: galaksi-galaksi termasuk bumi bergerak atau datang menuju pusat penciptaan, yang jaraknya menurut Q.S. al-Ma’ârij/70: 4  adalah 50.000 (lima puluh ribu) tahun cahaya, [54] dan menurut Q.S. al-Sajdah/32:5 jaraknya jika ditempuh oleh manusia adalah 1000 tahun cahaya. Ini menunjukkan bahwa jarak yang dimaksud adalah suatu jarak terjauh yang tidak dapat dicapai oleh kekuatan manusia.

      Lalu Allah swt berkehendak menjadikan berbagai galaksi dalam masa 2 (dua) periode (fî yawmain) dan Allah atur pada setiap galaksi dengan masing-masing sistem (wa auhâ fî kulli samâin amraha). Lalu dilanjutkan dengan ayat ke-12 dengan firman-Nya:

وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيم ِ(12)

Ungkapan ayat di atas dapat bermakna: “dan Kami lengkapi galaksi bumi ini yaitu galaksi bima sakti dengan matahari, bintang-bintang, dan bulan (al-mashâbih) serta atmosfir (hifzhan). Demikian itu merupakan ketetapan dari Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui.”

Pernyataan ungkapan tersebut dijelaskan pula dalam surah al-Anbiyâ’/21:32-33, yang mengemukakan bahwa Allah telah menciptakan matahari dan bulan dengan garis edarnya dan menjadikan galaksi ini (bimasakti) terdapat “atap yang dapat menjaga” yaitu atmosfir. Itulah tanda-tanda kebesaran Allah swt yang banyak dipalingkan atau tidak diperhatikan.[55]

Ayat kelima tentang penciptaan alam yaitu surah al-Thalâq/65:12اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّلِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا (12)

Makna ayat di atas ~hemat penulis~ dapat dipahami dengan ungkapan berikut: “Allah-lah yang menciptakan ‘tujuh galaksi’[56] dan sebahagian bumi diciptakan-Nya sama seperti galaksi-galaksi itu, yaitu banyak turunnya hujan antara keduanya. Agar kamu umat manusia mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ‘Ilmu Allah’ meliputi segala sesuatu.”

Pernyataan di atas didasarkan pada pemahaman bahwa lafal:               وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّdikaitkan kepada kata kerja sebelumnya, sehingga ungkapannya secara lengkap adalah: اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

Lafal الأمر pada ungkapan ayat tersebut dimaknai oleh penulis dengan hujan atau air padahal makna hakikatnya adalah “perintah”, menunjukkan bahwa lafal ini merupakan majâz mursal dengan `alâqah atau qarînah-nya adalah ”al-juz’iyyat,” yakni: mengambil makna bahagian dari perintah itu atas kandungan maknanya yang umum karena terkait dengan konteks kalimatnya yaitu “air” memiliki hubungan yang cukup berarti dalam proses “penciptaan alam semesta,” sebagaimana diketahui dalam tafsiran ayat sebelum ini.

Bahkan jika memperhatikan penggunaan kata kerja sebelumn lafal “al-‘amr” yaitu lafal “yatanazzalu” yang berasal dari lafal: “nazala” (turun) dan berbagai derivasinya di dalam Alqur’an diketahui bahwa ia digunakan ~paling tidak~ untuk, yaitu: 1. sesuatu yang memiliki nilai lahir dan bathin (material  and immaterial ) seperti turunnya Alqur’an, dan azab. 2. sesuatu yang bersifat materi atau lahiriah saja seperti: turunnya malaikat, syetan, hujan/air, dan sebagainya.[57]

Dari informasi yang didapat dari ayat di atas diketahui bahwa, air atau hujan dapat turun di planet-planet dari galaksi-galaksi alam raya sebagaimana ia juga turun di planet bumi ini. Sebuah informasi penting bagi pengembangan ilmu angkasa luar. Adanya penafsiran tersebut mengharuskan penelitian lebih lanjut dengan melalui “kekuasaan” atau segala kemampuan yang dimiliki ( qaddara)[58] dan ilmu pengetahuan (`ilmâ), sebagaimana diisyaratkan di akhir ayat tersebut.

Ayat keenam tentang penciptaan alam ini adalah Q.S. al- Sajdah/32: 4:اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَا لَكُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا شَفِيعٍ أَفَلَا تَتَذَكَّرُون َ(4)

Ayat ini mengemukakan tentang: proses alam semesta setelah memasuki periode keenam, Allah swt melakukan “istiwa” yaitu mengatur perjalanan alam semesta ini  berdasarkan “ `Arasy”. Yakni dengan tetap memperhatikan substansi alam dan hukum singularitas alam raya yang sudah ditetapkan-Nya.

            Salahsatu contoh bentuk pengaturan itu, adalah disebutkan dalam surat al-A’râf/7:54 yaitu: adanya pergantian siang dengan malam, perjalanan matahari, bulan, dan bintang sesuai dengan perintah-perintah-Nya sehingga dapat teratur, sebagaimana masih kita rasakan sekarang ini.

Juga Allah swt menyatakan di atas bahwa: penciptaan alam raya ini tidak dapat dilakukan oleh siapapun kecuali oleh Allah, Sang Maha Pencipta itu. Bahkan semua yang ada di jagad raya ini tetap membutuhkan pertolongan-Nya baik secara fisik atau non-fisik, di waktu kehidupannya di dunia atau di hari pembalasan (dalam kehidupan akherat). Hal tersebut hendaknya dapat dijadikan pelajaran oleh umat manusia sehingga ia mampu mengembangkan solusi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara bersama sebagai khalifah, secara lahir batin, guna mencapai kebahagian dan kesejahteraan bersama dalam kehidupan dunia-akherat. Semoga.

Demikian penafsiran tentang penciptaan alam raya/semesta yang telah penulis lakukan, dan dari usaha tersebut diketahui bahwa: “alam semesta diciptakan dari yang ada kemudian berproses secara alamiah. Yakni alam raya atau alam semesta diciptakan dari suatu ‘dua massa’ yang tidak sama besarnya dan disatukan kemudian dipisahkan melalui proses alamiah.”

C.3. Sintesa kosmologi menurut metode tafsir ilmi

Dari penafsiran yang telah penulis lakukan tentang penciptaan alam raya dengan memfokuskan kepada proses dan asal-usul alam raya dikemukakan bahwa dalam penafsirannya mengandung berbagai usulan dan arahan bagi nilai-nilai kosmologis dalam ilmu pengetahuan modern. Hal itu terjadi, karena dalam penafsirannya telah mengandung berbagai tujuan dari fungsi dari “metode tafsir ilmi”,  baik yang bersifat  tabyîn, i`jâz, dan istikhrâj al-`ilmi. Pertama: dikemukakan tentang penjelasan teori yang terkait dengan proses dan asal-usul penciptaan alam raya, kedua: mampu menyusun serta membuktikan dalam kaca mata “metode tafsir ilmi” (al-manhaj fî al-tafsîr al-`ilmî ) tentang pernyataan yang dikemukakan oleh ayat-ayat Alqur’an terkait dengan proses dan asal-usul alam raya ini, ketiga: memberikan kesadaran tentang adanya kesamaan-kesamaan tertentu pada substansi penciptaan alam antara bumi ini dengan planet-planet yang ada di galaksi bima sakti,[59] seperti air misalnya atau substansi batuan yang ada kemirifan di bumi ini dengan di planet lain, dan sebagainya. Intisarinya adalah: Pertama, proses penciptaan alam menurut metode tafsir ilmi ini adalah: alam semesta tercipta dalam enam periode, dan pemahaman ini merupakan contoh dari alTabyîn. Kedua, bahwasanya pemahaman lafal: nŭn wa al-qalam wa mâ yasthurǔn (al-Qalam/68:1)  adalah: nun bermakna ruang (space), al-qalam bermakna massa/materi (material), wa ma yasthurǔn bermakna kecepatan (speedy) dan energi (tâqat), dan pemahaman ini merupakan contoh ali`jaz. Ketiga, bahwasanya materi/masa alam semesta antara bumi dan planet-planet di galaksi (al-samâ’) memiliki kemiripan antara bumi dengan planet lain, seperti bebatuan, air, dsb. Pemahaman ini merupakan contoh istikhrâj al-`ilmi. 

Untuk membuktikan kesimpulan tersebut maka dapat dinyatakan pentingnya penelitian lapangan oleh para astronot, sebuah saran yang relatif baru dalam dunia tafsir Alqur’an dan dapat dijadikan acuan oleh para astronot atau pakar-pakar di bidang  pengembangan dan pencarian serta penemuan angkasa luar ( outer space ). D. PENUTUP

            Tentu saja karya ini masih memiliki berbagai kekurangan, sehingga dibutuhkan berbagai kritik yang membangun bagi pengkayaan “metode tafsir ilmi” dimaksud. Bahkan idealnya, dalam program ini dilakukan kerjasama penafsiran antara mufassir di satu sisi dengan ilmuwan di sisi lain. Insya Allah swt. []

                        DAFTAR PUSTAKA·         `Aisyah Abdurrahman Bintusyati’ ; al-Tafsîr al-Bayânî li Alqur’ân, ( Dar al-Ma’ârif; Beirut), 1976/1388, cet. 5, juz.2.·         Abdul Majid  bin Aziz al-Zindani..[et.al.]; Mukjizat Alqur’an dan as-Sunnah tentang IPTEK, (Jakarta, Gema Insani Press), cet.1, jilid 2, 1997.

·         Abdurahman Nashir Sa’ad al-Qawâ`id al-hisân li tafsîr Alqur’ân, (maktabah al-Ma’ârif, Riyadh, 1980/1400.)

  • Abu Abdillah al-Zanjani; Târikh Alqur’an, (Mizan, Bandung, 1986), terj. Oleh: Marzuki Anwar.

·         Achmad Baiquni; Filsafat Fisika dalam Alqur’an, ( Ulumul Qur’an, Jakarta, 1990/1410).

·         ______________; Konsep-konsep Kosmologis dalam Alqur’an, (Paramadina, Jakarta, KKA 28 tahun ketiga, 1989).

·         Annemarie Schimmel, dalam buku: Sachiko Murata; The Tao of Islam; ( Bandung, Mizan, 1998), cet.5.

·         Aziz Fachrurozi, memahami ajaran pokok Islam dalam Alqur’an melalui kajian semantik (Disertasi Pascasarjana UIN Jakarta, 2001).

·         Departemen Agama; Alqur’an dan Terjemahnya, (Kerajaan Arab Saudi;Riyadh, 1971).

·         Donny Gahral Adian; Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn, ( Teraju; Jakarta), cet.1, 2002.

·         Faidlulah al-Hasanî al-Miqdasî; Fathul Rahman li thâlib âyât Alqur’an, (Maktabah Dahlân; Indonesia) Muhammad Bagir Ash-Shadr; Pedoman Tafsir Modern; (Risalah Masa; Jakarta), tej.Hidayaturakhman cet.1, 1992

·         HansWehr; A Dictionary of modern written Arabic,  ( London, Ottoharrasowutz, 1971),   cet. 3.

·         Ian G. Barbour; Juru Bicara Tuhan, (Mizan; Bandung 2002), terj. E.R. Muhammad, buku asli: When science meets Religion, cet.1.

·         Jujun S. Suriasumantri; Ilmu dalam perspektif; sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, (Yayasan Obor Indonesia; Jakarta, 1995), cet.12.

·         Karlina Leksono; Teguhkan lagi teori dentuman besar, ( Kompas, Jakarta, 30 April 1992).

·         Louis Ma’luf; al-Munjid fî al-lughat, (al-maktabah al-Syarqiyyah, Beirut, 1986), cet. 28. 

·         M. Quraish Shihab: Membumikan Alqur’an ; Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Bandung; Mizan, 1993), cet. V.

·         Midhat Hâfiz Ibrahim; al-isyârât al-‘ilmiyyah fî Al-Qur’ân, Op.cit., (maktabah Gharîb; Kairo), 1992.

·         Moh. Matsna ; Orientasi Semantik al-Zamakhsyarî dalam menafsirkan ayat-ayat kalam (Disertasi Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999).

·         Moh. Nur Ichwan ; Meretas Kesarjanaan kritis Alqur’an : Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zaid, ( Teraju, Jakarta, 2003), cet.1.

·         Muhammad Bagir Al-Shadr; Pedoman Tafsir Modern; (Risalah Masa; Jakarta), tej.Hidayaturakhman cet.1, 1992.

·         Muhammad Fuad Abdul Bâqî; Al-mu`jam al-mufakhrash lî alfâdz Alqur’an, (Maktabah Dahlan, Indonesia, tt).

·         Nashr Hamid Abu Zaid; Tekstualitas Alqur’an, ( Lkis; Yogyakarta, 2003),judul asli: mafhûm al-Nash: dirâsat fî `ulûm Alqur’an, cet.3.

·         Raghîb al-Isfahânî; Mu`jam mufradât alfâdz al-Qur’ân, ( Beirut, Dâr al-fikr, 1972), ditahkik oleh: Nadim Mar’asyilî.

·         Rahman Djay; Alqur’an dalam Fokus Kosmologi Modern, ( Ulumul Qur’an, Jakarta, 1990/1410).

  • Sirajuddin Zar; Konsep penciptaan alam dalam pemikiran Islam, sains, dan Alqur’an, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994), cet.1.

·         Sonny Keraf & Mikhael Dua; Ilmu pengetahuan; sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta;Penerbit Kanisius) cet.5., 2001.

·         Tammam Hassan ; al-Lughat al-`arabiyyah : ma`nâhâ wa mabnâhâ (Kairo, al-Haiah al-mishriyyah al-‘âmmah li al-kitâb, 1979), cet.2. ·         Toshihiko Izutsu; Ethico Religius Concepts in The Qur’ân, (Montreal; Mc.Gill Univ Press, 1966).           Pedoman Transliterasi Arab-Latin: 

ء ض  dl a
ب b ط th i
ث ts ع  ` t
ج j غ gh ال  al
خ  kh ق  q ا â
د  d ك  k ي  î
ذ dz ل  l

   و

و

 

ŭ

ز z ن  n     ي ai
ش sy h ّ mm
ص sh ي y    

  


[1] Lebih detail tentang arus pembicaraan ilmu pengetahuan dengan kitab suci. Lihat: Ian G. Barbour; Juru Bicara Tuhan, (Mizan; Bandung 2002), terj. E.R. Muhammad, buku asli: When science meets Religion, cet.1.

[2] Hal ini tercermin pada isi penafsirannya yang sesuai dengan tujuan pokok dan tujuan sentral diturunkannya Alqur’an, sebagaimana adanya kesesuaian antara sikap sang mufasir dalam keseharian dengan isi penafsirannya. Adapun tujuan pokok diturunkannya Alqur’an adalah menjadikannya sebagai pegangan dalam bidang teologi (`aqîdah), syari’ah/hukum (sar`iyyah), dan akhlâq (etika). Lihat: M. Quraish Shihab: Membumikan Alqur’an ; Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Bandung; Mizan, 1993), cet. V, h. 52. Sedangkan tujuan sentral diturunkannya Alqur’an kepada Nabi Muhammad adalah sebagai petunjuk (al-hudâ) bagi umat manusia dan petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Terhitung sekitar 300 ayat dalam Alqur’an yang menggunakan lafal al-hudâ dengan berbagai derivasinya. Faidlulah al-Hasanî al-Miqdasî; Fathul Rahman li thâlib âyât Alqur’an, (Maktabah Dahlân; Indonesia), h. 453-456. Tentang makna al-hudâ atau petunjuk ini, terkadang Alqur’an memberikan deskripsi petunjuk-Nya dalam bentuk ‘rahmat’ (Q.S. Al-A’râf/7: 204), atau kabar gembira dengan kesuksesan di hari kiamat (Q.S. Bani Israil/17: 9), atau pemisahan komunitas antara kelompok yang beriman dan kelompok yang kafir terhadap ajaran Alqur’an (Q.S. bani Israil/17: 45). Fungsi sentral Alqur’an ternyata dapat dikembangkan juga dalam bentuk tadabbur, tandzir, dan tadzkir. Fungsi ‘tadabbur’ inilah yang berhubungan langsung dengan proses altafsîr al-`ilmî, yang bermakna: memikirkan sesuatu ide/ fikiran atau perbuatan serta tindakan secara mendalam serta akibat ataupun mudlârat yang muncul darinya. Men-tadabbur-kan Alqur’an artinya memahami makna Alqur’an secara mendalam sehingga dapat memberikan pengaruh positif dari perenungan tersebut. Lihat: Q.S. an-Nisâ/4:82.

[3] Hal ini untuk menghindari adanya plagiator dan adanya kesalahan atau kekeliruan disebabkan perubahan konteks penafsiran pada setiap mufassir dan tidak melakukan penafsiran karena berdasarkan pesanan golongan tertentu atau penguasa sekalipun.

[4] Seperti memulai dengan menyebutkan asbâb an-nuzûl, menerangkan susunan kalimat, kosa kata ~baik dari segi balâghat-nya atau i`râb-nya~, kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kapabilitas ilmu yang dimiliki dan kehidupan realitas di masyarakat baik sekarang atau yang akan datang.

[5] Sehingga penafsirannya merupakan tafsir yang tidak bias yaitu mengkaji Alqur’an dengan meletakkan pandangan mufassir terhadap visi Alqur’an bukan meletakkan Alqur’an atas pandangan mufassir. Lihat: Muhammad Bagir Ash-Shadr; Pedoman Tafsir Modern; (Risalah Masa; Jakarta), tej.Hidayaturakhman cet.1, 1992,  h. 11

[6] Dengan mengetahui periode-periode turunnya ayat Alqur’an akan dipahami lebih jelas tentang tujuan-tujuan Alqur’an. Hal itu, jika ayat-ayat kawniyyah yang ditafsirkan terdapat asbâb an-nuzŭl-nya, tetapi hampir sebagian besar tidak didapati asbâb al-nuzŭl-nya.

[7] morfologis, sintaksis, atau ilmu-ilmu balâghat-nya.

[8] Kaidah-kaidah tafsir yang penulis simpulkan ini, sebahagian besar dinukil dari kitab: al-Qawâ`id al-hisân li tafsîr Alqur’ân, hasil karya: Abdurahman Nashir Sa’ad yang diterbitkan oleh: maktabah al-Ma’ârif, Riyadh, 1980/1400.

[9]Abdul Majid  bin Aziz al-Zindani..[et.al.]; Mukjizat Alqur’an dan as-Sunnah tentang IPTEK, dalam sub judul: Kaidah -kaidah kajian mukjizat ilmiah, (Jakarta, Gema Insani Press), cet.1, jilid 2, 1997, h. 2

[10] Nashr Hamid Abu Zaid; Tekstualitas Alqur’an, ( Lkis; Yogyakarta, 2003),judul asli: mafhûm al-Nash: dirâsat fî `ulûm Alqur’an, cet.3, h.  299

[11] Nashr Hamid Abu Zaid; Ibid., h. 295

[12] Nashr Hamid Abu Zaid; Ibid. h.297 signifikansi berarti: mencari aspek yang implisit dari teks (al-maskut `anhu) dengan mempertimbangkan “arah teks” dan mengunakan kritik historis dan analisis linguistik. Pada sisi lain, siginifikansi adalah sebuah hubungan antara makna dan seseorang pembicara, atau sebuah persepsi, situasi, atau sesuatu yang dapat dibayangkan Lihat: M. Nur Ichwan; Op.cit., h. 105 dan 89

[13] Jujun S. Suriasumantri; Ilmu dalam perspektif; sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, (Yayasan Obor Indonesia; Jakarta, 1995), cet.12, h. 7-9, 24, 154, 158, dan 205. Adapun kegiatan kuantifikasi dan statistik tersebut dilakukan jika metode penelitian bersifat kuantitatif.

[14] Donny Gahral Adian; Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn, ( Teraju; Jakarta), cet.1, 2002, h. 17-18 A. Sonny Keraf & Mikhael Dua; Ilmu pengetahuan; sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta;Penerbit Kanisius) cet.5., 2001, h.33-117

[15] Alqur’an menekankan eksistensi keteraturan dalam fenomena alam dan tujuan penciptaan alam dan pemahaman alam harus di mulai dari memahami rangkaian sebab-akibat dan mencapai akhir yakni Tuhan alam semesta (sebagai penyebab pertama dan terakhir). Lihat: Q.S. Al-Ra’d/13: 8, Al-Furqân/ 25:2, Al-Mulk/67:3, Yûnus/ 10:5, Al-Anbiyâ/21:22, Al-Mu’minûn/23:91, Al-Naml/27:88, Q.S. Al-An’am/6:76-79, Al-A’râf/7:185

[16] Ilmu memiliki prinsip tentang adanya kausalitas umum; prinsip ini melahirkan dua akibat, 1. Determinisme, yaitu setiap sebab memerlukan suatu akibat, dan tanpa sebab tidak mungkin terjadi suatu akibat. 2. Keseragaman alam; sebab-sebab yang sama diikuti oleh akibat-akibat yang sama. Terkait dengan hal tersebut Alqur’an menawarkan: 1.Adanya ketetapan atau ketentuan yang telah Allah swt berikan (sunnatullâh) bagi terciptanya sistem kehidupan manusia di muka bumi ini (Q.S. Al-Isrâ/ 17;77, Al-Ahzab/ 33;62, Al-Ahzab/ 33;38, An-Nisâ/ 4;26. contoh pola-pola ini, yaitu dinyatakan oleh Allah swt dalam firman-Nya, Q.S. Al-Ra’d/13:11, Al-Isrâ/ 17:16, Al-Nûr/ 24:55, Alu-Imrân/ 3:139, Hûd/11:117, Al-Ra’d/13:17, Fâthir/35:43.),2. Penciptaan ataupun sebab-sebab kejadian di alam mengikuti ukuran tertentu dan setiap wujud di alam memiliki rentang kehidupan yang terbatas dan pasti (Q.S. Al-Rahmân/ 55:5, Al-Hijr/15:21, Al-Ra’d/13:8, Al-Rûm/30:8.), 3. Adanya mekanisme dan jalan khusus kejadian suatu fenomena tertentu yang terjadi di alam (Q.S. al-Mu’minûn/23:12-13, al-Baqârah/2:22 dan 258, Yâsîn/36:38-40.), 4. Peranan sebab-sebab perantara tertentu dalam kejadian di alam (Q.S. Al-Fîl/105:3-4, Al-Nahl/ 16:65, Al-Nahl/16-67, Al-Hijr/15:22, Al-Taubah/9:14).

[17] Apabila didapati ada beberapa ayat Alqur’an yang tampak menjelaskan dan memerinci pembahasannya, itu tidak berarti bahwa Alqur’an diturunkan untuk setingkat ilmu manusia, sebab ayat Alqur’an pun di bagian lain mendiskusikan pembahasan tentang manusia misalnya, terdapat dalam surah al-Sajdah/32:70, al-Hijr/15:26, Al-Mu’minûn/23:12, al-Rahman/55:154. Dalam ayat tersebut, Alqur’an ingin menjelaskan tentang bagian ilmu alam yang sudah  ditentukan oleh Allah swt dalam bentuk sunnatullâh atau hukum alam dari sang Pencipta alam raya ini. Lihat: Midhat Hâfiz Ibrahim; al-isyârât al-`ilmiyyat fî Al-Qur’ân, Op.cit., (maktabah Gharîb; Kairo), 1992, h. 146 dan 149

[18] Mekanisme takwil bagi seorang mufassir adalah bekerja dalam batas sistematika penafsiran yang sudah ditetapkan. Seorang mufassir yang mendekati teks dengan cara takwil harus menganalisis teks untuk mengungkap “kata-kata kunci” teks dan makna-makna sentralnya, dan melalui makna sentral itu mufassir dapat mengungkap dualisme makna Alqur’an melalui tadabbur, selanjutnya dibuktikan secara objektif ilmiah.

[19] Terkait dengan metode bayânî tersebut, Amin Al-Khûlî memiliki ketentuan metode bayânî ini sebagai berikut: 1. melakukan istiqra’ atau penelitian induksi terhadap lafal  dari ayat yang diteliti dengan segala derivasinya, 2. membahas fenomena uslubnya dari berbagai pendapat yang sudah mapan secara kebahasaan, 3. Memunculkan konteks ayat dan surat secara khusus, lalu dihubungkan dengan konteks Alqur’an secara global untuk mencari rahasia-rahasia penjelasannya, 4. berusaha memahami kesan kebahasaan melalui teks Alqur’an dengan cara melihat makna konotatifnya dalam berbagai bentuk penggunaannya (dalam ayat Alqur’an), 5. Selanjutnya, teks Alqur’an yang diteliti ini, dibatasi setiap petunjuk lafal-nya  dengan makna leksikal.  Metode ini juga berprinsip kepada: Pertama, Keumuman lafal dan kekhususan sebab berdasarkan alasan yang jelas.  Kedua, Memperhatikan tertib turunnya ayat atau surat. Lihat: ‘Aisyah Abdurrahman bintusyati’ ; al-Tafsîr al-Bayânî li Alqur’ân,      ( Dar al-Ma’ârif; Beirut), 1976/1388, cet. 5, juz.2, h. 7-9

[20] Alqur’an dalam kaitannya dengan perkembangan (fleksibilitas) ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal pokok: Pertama tujuan; memberikan kemaslahatan atau nilai manfaat bagi umat manusia, Kedua, Cara; yang salahsatunya adalah menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, ketiga, pembuktian; diantaranya dapat terlihat dalam ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan Alqur’an. M. Quraish Shihab; Op.cit.,  h.61-62

[21] Pertama: Esensi atau hakikat Alqur’an ini terdiri atas: a. lafal (kata); ia dapat menambah kualitas nilai spritualitas atau bahkan dapat memiliki kekuatan mistik dengan berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang sesuai dengan makna teks itu sendiri dan sesuai dengan prinsip eternalitas dari ajaran Alqur’an seperti: kesucian jiwa, keikhlasan, kedekatan dengan Tuhan, dan sebagainya. b. Kajian Makna; Makna Alqur’an dipandang berdimensi dualisme, yaitu  dimensi jasmani (mâddî) dan dimensi rohani (madânî). Kedua: Substansi atau isi Alqur’an, mencakup: a. Aqidah (Ketuhanan); b. Ibadah: 1. Ritual (mahdlat); 2. Sosial (mu`âmalat); 3. Eternal (h wa al-nafs); c.kawniyyat (isyarat realitas alam semesta); Ketiga: Eksistensi Alqur’an (al-wujûd min Al-Qur’ân) yaitu: a. spirit Alqur’an; dapat diperoleh dari maksud dan tujuan setiap ayat-ayat Alqur’an. b. Aplikatif; pemahaman atas ayat Alqur’an ~minimal atau paling tidak~ harus dapat diaplikasikan sesuai  situasi dan kondisi zaman dan waktu sang mufassir.

[22] Aziz Fachrurozi, memahami ajaran pokok Islam dalam Alqur’an melalui kajian semantik (Disertasi Pascasarjana UIN Jakarta, 2001). Moh. Matsna ; Orientasi Semantik al-Zamakhsyarî dalam menafsirkan ayat-ayat kalam (Disertasi Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999). Tammam Hassan ; al-Lughat al-`arabiyyah : ma`nâha wa mabnâha (Kairo, al-Haiah al-mishriyyah al-‘âmmah li al-kitâb, 1979), cet.2. Moh. Nur Ichwan ; Meretas Kesarjanaan kritis Alqur’an : Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zaid, ( Teraju, Jakarta, 2003), cet.1.

 

[23] Lihat: Toshihiko Izutsu; Ethico Religius Concepts in The Qur’ân, (Montreal; Mc.Gill Univ Press, 1966), bagian “metode analisa dan perbandingan, ” dsb.

[24] Muhammad Bagir Al-Shadr; Pedoman Tafsir Modern; (Risalah Masa; Jakarta), tej.Hidayaturakhman cet.1, 1992,  Op.cit., h. 19-20

[25] Sirajuddin Zar misalnya, ia menyusun proses penciptaan alam semesta menurut Alqur’an dengan susunan ayat-ayat berikut: proses penciptaan alam semesta yang pertama dengan berdasarkan kepada analisis ayat-ayat Alqur’an yang memuat lafal khalaqa, bada’a, atau fathara,kemudian berturut-turut surah al-Anbiyâ’/21:31, Fushshilat/41:9-12, al-Dzariyât/51:47,  Hûd/11:7, al-Sajdah/32:4.lihat: Sirajuddin Zar; Konsep penciptaan alam dalam pemikiran Islam, sains, dan Alqur’an, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994), cet.1, h. 134-139. Sedangkan menurut Abu Abdullah Zanjani, sebagaimana dinukil oleh Sirajuddin Zar, bahwa proses penciptaan alam adalah sesuai dengan susunan ayat berikut: Hûd/11:7, al-Anbiyâ’/21:30, al-Sajdah/32:4, al-Dzâriyât/51:47, Fushshilat/41:9-12, dan surah al-Thalaq/65:12. Abu Abdillah al-Zanjani; Târikh Alqur’an, (Mizan, Bandung, 1986), terj. Oleh: marzuki Anwar, h. 70-78.

[26]  Sirajuddin Zar; Ibid., h. 1-2

[27] Rahman Djay; Alqur’an dalam Fokus Kosmologi Modern, ( Ulumul Qur’an, Jakarta, 1990/1410), h. 16

 

[29] A. Baiquni; Konsep-konsep Kosmologis dalam Alqur’an, (Paramadina, Jakarta, KKA 28 tahun ketiga, 1989), h. 13-15

[30] Achmad Baiquni; Filsafat Fisika dalam Alqur’an, ( Ulumul Qur’an, Jakarta, 1990/1410), h. 9- 10 Argumen tentang pernyataan adanya “singularitas” dan “alam diciptakan dari tidak ada” adalah didasarkan atas penelitian seorang fisikawan Edward Tryon (1973) dari Univ. New York yang menyatakan bahwa sebelum terjadinya ledakan besar ( big-bang) alam berasal dari ketiadaan. Kemudian berdasarkan prinsip mekanika kuantum bahwa: kehampaan dapat melahirkan sebuah sistem. Kian kecil energi sistem, kian lama kala hidup partikel semu atau fluktuasi kuantum ini. Fluktuasi seberat pasangan electron positron dapat hidup selama seperbilyun-trilyun detik. Sedangkan energi yang sebilyun-trilyun kali lebih kecil dapat bertahan hampir sedetik. Sebuah sistem berenergi nol tentu dapat hadir selamanya. Inilah yang berakibat adanya “singularitas”.Lihat: Karlina Leksono; Teguhkan lagi teori dentuman besar, ( Kompas, Jakarta, 30 April 1992), h. 10. Terkait dengan penciptaan alam semesta; bahwa alam semesta tercipta dari ketiadaan sebagai goncangan vakum yang membuatnya mengandung energi yang sangat tinggi dalam singularitas. Vakum yang berarti tiada ruang, tiada waktu, tiada materi, dan tiada energi, dapat memunculkan energi yang besar pada waktu yang sangat pendek. Hal ini terjadi berulang-ulang dan inilah yang disebut goncangan kevakuman. Vakum yang mempunyai kandungan energi luar biasa besar dan tekanan gravitasi negatif ini menimbulkan suatu dorongan eksplosir keluar dari singularitas. Oleh karena itu, alam semesta tercipta dari ketiadaan, demikian A. Baiquni dalam: Konsep-konsep Kosmologis ….., Op.cit., h. 13

[31] Achmad Baiquni; Filsafat Fisika…, Ibid., h. 10

[32] Rahman Djay; Alqur’an dalam Fokus Kosmologi Modern, Op.cit., h. 17

[33] Departemen Agama; Alqur’an dan Terjemahnya, (Kerajaan Arab Saudi;Riyadh, 1971), h. 657

[34] Departemen Agama; Ibid.,  h.862

[35] Departemen Agama; Ibid.,  h. 327

[36] Departemen Agama; Alqur’an dan Terjemahnya , Ibid.,  h. 774

[37] Departemen Agama; Alqur’an dan Terjemahnya , Ibid.,  h.947

[38] Departemen Agama; Alqur’an dan Terjemahnya , Ibid.,  h.660

[39] HansWehr; A Dictionary of modern written Arabic,  ( London, Ottoharrasowutz, 1971),   cet. 3,

    h.695

[40] Dalam kamus diketahui bahwa, lafal جعل bermakna: effect (pengaruh atau akibat),to create (menciptakan, menimbulkan), to put (meletakkan). Lihat: HansWehr; Ibid., (London, Ottoharrasowutz, 1971), cet. 3, h. 127

[41] lihat misalnya: Q.S. al-An’âm/6:1, al-Mulk/67:23, al-Nahl/16:72, Nuh/71:16

[42] dalam kajian kebahasaan, hal ini termasuk pembahasan majâzî, sedang dalam dunia tafsir masuk kepada pembahasan ta’wîl.

[43] Alqur’an menyatakan bahwa tujuan Allah swt menjadikan manusia di muka bumi ini, adalah supaya ia menjadi pemegang khalîfat. Lihat: Al-Baqârah/2:30

[44] lihat: Q.S. an-Nâzi’ât/79:27-28, al-Mu’min/40:64, an-Nabâ’/78:12

[45] Lihat: HansWehr;  Op.cit,. h. 1105-1106

[46] al-Raghîb al-Isfahânî; Mu`jam mufradât alfâzh al-Qur’ân, ( Beirut, Dâr al-fikr, 1972), ditahkik oleh: Nadim Mar’asyilî, h. 158

[47] makna lafal: “ayyâm” dalam penggunaannya di ayat-ayat Alqur’an, ~paling tidak~memiliki makna berikut: pertama,  “hari”, kedua, “perjalanan waktu”. Makna pertama banyak terkait dengan masalah `ibâdat makhdlat, oleh karena itu penulis memilih makna kedua, yakni: perjalanan waktu atau periode/tahapan. Lihat: Q.S. al-Baqârah/2:184-185, 196, 203, alu-Imrân/3:41 dan 140, al-Mâidah/5:89, al-A’râf/7:54, Yûnus/10:3, 103, Hûd/11:65, Ibrâhîm/14:5, al-Hajj/22:28, dan sebagainya.

[48] Lihat penafsiran ayat pertama, yakni: Q.S. al-Anbiyâ’/21:30

[49] Annemarie Schimmel  dalam kata pengantar buku: Sachiko Murata; The Tao of Islam; ( Bandung, Mizan, 1998), cet.5, h.16

[50] Ratna Megawangi;  dalam “sekapur sirih” buku: Sachiko Murata; The Tao…., Ibid.,  h.10

[51] Annemarie Schimmel  dalam kata pengantar buku: Sachiko Murata; The Tao…, Loc.cit,.   

[52] lafal “rawâsiya” adalah jama` (plural) dari lafal “rasiya” yang bermakna: tetap, (tsabata), teguh, kokoh (rasakha), pasak (watad). Lihat: Louis Ma’luf; al-Munjid fî al-lughat, (al-maktabah al-Syarqiyyah, Beirut, 1986), cet. 28,  h. 261.   Adanya lafal “rawâsiya” pada ayat ini, seringkali dikaitkan oleh para mufassir terdahulu dengan makna gunung yang ada di bumi, atau terkait dengan gunung sebagai pasak. Hemat penulis, banyak ayat-ayat lain yang lebih relevan untuk dikaitkan dengan pembahasan tentang gunung. Lihat misalnya: Q.S. al-Baqârah/2:260, al-Ra’du/13:3, al-Hijr/15:19, al-Nahl/16:15, al-Naml/27:61 dan 88, Lukman/31:10, Fâthir/35:27, Qâf/50:7, al-Mursalât/77:27, al-Nabâ’/78:7,al-Nâzi’at/79:32, al-Ghâsiyah/88:19 dan lain-lain.

[53] Departemen Agama;Op.cit., h. 955

[54]تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (4)  ( al-Ma’ârij/70:4 ) 

[55] وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ ءَايَاتِهَا مُعْرِضُون َ(32)وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُون َ(33)

                              ( al-Anbiyâ’/21:32-33)

Bandingkan dengan penjelasan di dalam surah al-Shâffat/37:5-10 yang menyatakan bahwa galaksi bimasakti ini dilengkapi dengan bintang-bintang dan atmosfir yang dapat menjaga dari gangguan syetan yang hendak merusak pengaturan bumi ini atau merusak peran manusia di bumi ini.

[56] Dalam berbagai ayat Alqur’an didapati bahwa penggunaan lafal “al-samâ’ “  terkadang diiringi dengan mudlâf  yakni: “sab`u al-samâwât” (tujuh langit), atau dengan mengkaitkan (idlâfat)  sifât kepada mawshûf yaitu: “al-sab`u al-samâwât,” (langit yang tujuh) atau hanya dengan alîf lâm li al-jinsi saja yaitu: al-samâ’. Seluruh penggunaan lafal-lafal tersebut, secara maknawi berdasarkan kaidah tafsir yang ada, menunjukkan: 1. makna secara umum dan menyeluruh tanpa ada penentuan nama tertentu, yaitu langit atau galaksi-galaksi, 2. menunjukkan isim jenis yaitu jenis langit yang merupakan lawan kata dari bumi. Kedua makna ini, tidak bertolak belakang/bertentangan sehingga pemaknaan lafal di atas, yaitu: “sab`u samâwât” dengan “tujuh galaksi” adalah syah secara maknawi.

[57] Lihat penggunaan lafal “nazala” dengan berbagai derivasinya di dalam Alqur’an, sebagimana telah dicatat oleh: Muhammad Fuad Abdul Bâqî; Al-mu`jam al-mufakhrash lî alfâzh Alqur’an, (Maktabah Dahlan, Indonesia, tt), h. 866-870.

[58] Makna “qaddara” secara bahasa diantaranya yaitu: skala, kuantitas, ukuran, tingkat, kualitas, nilai, dan sebagainya. Hans Wehr; Op.cit,. h. 745-746

[59] setahun setelah penelitian ini selesai, Badan antariksa Amerika Serikat NASA memberitakan bahwa di bulan dan di planet mars terdapat air, sebagaimana di bumi. Lihat: Harian Kompas tanggal 11 Februari 2005

Tinggalkan komentar